Skip to content

Quantum Journey

Oleh: Krisanti

Kategori Juara Favorit
#QUANTUMJOURNEY: DARI BUKU, BLOG, HINGGA PANGGUNG PENGHARGAAN

Tahun 2000. Saya masih mahasiswa tingkat akhir yang mulai merintis jalan menjadi guru di sebuah sekolah swasta. Kala itu, ketua yayasan, alm Bapak Jalaludin Rakhmat memberi saya dua buku: Quantum Learning dan Quantum Teaching karya Bobbi DePorter. “Ini pegangan dasar untuk guru pemula,” katanya. Saya menerimanya dengan rasa penasaran, belum tahu bahwa dua buku itulah yang kelak akan menjadi kompas sepanjang karier saya di dunia pendidikan. Buku itu bukan hanya mengajari teknik mengajar, tapi membuka mata saya tentang satu hal penting: bahwa setiap anak memiliki potensi, dan tugas kitalah sebagai guru untuk menemukannya-bukan menghakiminya. Dari sinilah perjalanan saya dimulai. Sebuah perjalanan yang tidak hanya mengubah cara saya mengajar, tetapi juga cara saya melihat dunia pendidikan.

Quantum Learning dan AMBAK: Menemukan Makna Belajar

Dari banyak konsep dalam Quantum Learning, ada satu yang paling membekas dan terus saya bawa hingga kini: AMBAK, singkatan dari Apa Manfaatnya Bagiku. Sebuah pertanyaan sederhana yang seharusnya menyertai setiap proses pembelajaran. AMBAK mengajarkan saya bahwa siswa tidak bisa hanya disuruh belajar “karena ini masuk ujian” atau “karena sudah ada di kurikulum”. Mereka perlu tahu: kenapa ini penting? bagaimana pelajaran ini akan berguna bagi hidup mereka?

“Siswa belajar lebih efektif ketika mereka memahami tujuan dan manfaat dari materi yang diajarkan. Inilah prinsip AMBAK—Apa Manfaatnya Bagiku.” — Bobbi DePorter, Quantum Learning: Unleashing the Genius in You (1992)

Konsep AMBAK menyadarkan saya, bahwa pembelajaran yang bermakna dimulai dari relevansi. Sejak saat itu, setiap saya merancang pembelajaran, saya selalu berusaha menempatkan siswa sebagai pusat. Saya ajak mereka bertanya, berpikir, dan menemukan alasan pribadi mengapa mereka perlu memahami sebuah materi. Apakah itu karena berkaitan dengan cita-cita mereka, kehidupan sehari-hari mereka, atau sekadar rasa ingin tahu mereka sendiri.

Sebagai guru pemula waktu itu, saya tak langsung mahir menerapkan semua yang tertulis dalam buku. Tapi AMBAK menjadi pegangan utama. Ia memberi saya satu prinsip sederhana: murid bukan malas, bodoh, atau tidak mampu-mereka mungkin hanya belum menemukan alasan untuk peduli. Dan tugas guru bukan sekadar mengajar, tetapi juga membantu mereka menemukan alasan itu.

Dari Kelas ke Blog: Menulis untuk Bertumbuh

Seiring waktu, semakin banyak pengalaman mengajar yang membuat saya ingin menuangkannya ke dalam tulisan. Awalnya hanya untuk diri sendiri-sebagai catatan reflektif, pelampiasan emosi, atau sekadar dokumentasi perjalanan mengajar. Tapi siapa sangka, kebiasaan menulis ini justru membuka jalan baru dalam hidup saya.

Saya mulai membuat blog. Tulisan pertama saya unggah dengan rasa ragu, apakah ada yang akan membaca? Tapi ternyata, dari satu tulisan lahir tulisan lain. Dari sekadar curhat guru, tulisan saya berkembang menjadi ruang berbagi strategi mengajar, tantangan di kelas, dan cara-cara saya menerapkan prinsip Quantum Learning dalam berbagai konteks, termasuk ketika kurikulum berganti.

Hingga kini, sudah lebih dari 400 artikel saya tulis-semuanya lahir dari ruang kelas, dari interaksi saya dengan siswa, dari proses belajar yang tidak selalu mulus tapi penuh makna. Menulis bukan hanya sarana berekspresi, tapi juga cara saya untuk terus belajar, merenung, dan bertumbuh sebagai guru.

Penghargaan: Bonus dari Konsistensi

Saya tidak pernah menyangka bahwa konsistensi menulis tentang dunia pendidikan bisa membuka begitu banyak pintu. Beberapa artikel saya mulai diterbitkan di Kompasiana, lalu berlanjut ke Kolom Kompas, dan bahkan muncul di beberapa portal pendidikan nasional. Awalnya saya hanya berbagi pengalaman di blog pribadi, namun kemudian tulisan-tulisan itu mulai menemukan rumah yang lebih luas-dan pembaca yang lebih beragam.

Menulis pun menjadi kebiasaan yang berkembang secara alami. Dari tema-tema pendidikan, saya mulai mengeksplorasi topik lain: pola asuh anak, literasi digital, keseharian sebagai guru, hingga fenomena sosial yang menyentuh dunia remaja dan keluarga. Saya menyadari bahwa semua itu sebenarnya tetap berakar pada satu hal: keinginan untuk terus belajar dan berbagi.

Beberapa kali saya mengikuti lomba blog, dan tak jarang mendapatkan penghargaan. Namun penghargaan yang paling membekas adalah ketika dari tulisan praktik baik, saya dinobatkan sebagai Peserta Terbaik Guru Inovatif jenjang SMA tingkat provinsi oleh Kemdikbud, pada peringatan Hari Guru Nasional 2023. Bagi saya, ini bukan sekadar piala atau pengakuan formal. Ini adalah bukti bahwa tulisan punya kekuatan. Bahwa pengalaman yang kita alami di kelas, ketika ditulis dengan jujur dan reflektif, bisa menginspirasi lebih banyak orang.

Refleksi 25 Tahun: Quantum Learning yang Tak Pernah Usang

Kini, setelah 25 tahun menjalani profesi sebagai guru, saya menyadari satu hal: buku Quantum Learning dan Quantum Teaching yang saya baca di awal karier itu bukan sekadar buku pegangan. Ia adalah pemantik kesadaran, pembuka jalan, dan kompas batin dalam perjalanan saya sebagai pendidik. Meski kurikulum berganti, metode mengajar terus berkembang, dan teknologi semakin canggih-nilai-nilai dari buku itu tetap relevan.

“Quantum Teaching is everything you do with students—the tone, the environment, the design of the lesson—all working in harmony to facilitate learning.” — Bobbi DePorter, Quantum Teaching: Orchestrating Student Success (2000)

Konsep seperti AMBAK, frame, state, rapport, dan pendekatan menghargai kecerdasan majemuk siswa bukan hanya teori, tapi telah menjadi bagian dari cara saya melihat murid, menyusun pembelajaran, hingga menulis dan berbicara tentang dunia pendidikan. Buku itu membentuk prinsip: murid belajar paling baik ketika mereka dihargai, dimengerti, dan diajak terlibat aktif dalam proses belajar.

#QuantumJourney saya masih terus berlanjut. Dari buku ke blog, dari ruang kelas ke ruang digital, dari refleksi pribadi ke panggung penghargaan. Semua berawal dari satu momen sederhana: diberi dua buku oleh ketua yayasan. Siapa sangka, hadiah kecil itu ternyata adalah pintu menuju perjalanan panjang yang penuh makna.

Editor: Tim Ngajiliterasi