Skip to content

Negeri 5 Negara dan Mimpi Yang Terus Menyala

Oleh: Nurul Fitri

Setiap orang memiliki titik balik dalam hidupnya — sebuah momen, peristiwa, atau bahkan pertemuan tak terduga yang mengubah cara pandangnya terhadap dunia.

Bagi saya, titik balik itu datang dalam bentuk sebuah buku. Bukan buku pelajaran, bukan pula novel klasik yang berat maknanya, melainkan sebuah novel karya Ahmad Fuadi berjudul Negeri 5 Menara.

Tanpa saya duga, buku itu menyalakan kembali semangat yang sempat meredup dan mengajarkan bahwa mimpi sebesar apa pun bisa dicapai, selama kita percaya dan bekerja keras.

Saya masih ingat jelas saat pertama kali membacanya, ketika duduk di kelas sepuluh SMA — masa transisi dari remaja menuju fase di mana kita dituntut untuk mulai “serius” memikirkan masa depan. Di tengah tekanan akademis, tuntutan orang tua, dan kebingungan tentang arah hidup, saya merasa tersesat di tengah keramaian. Semua orang tampak tahu ke mana mereka ingin melangkah, kecuali saya.

Lalu, secara tak sengaja, saya meminjam novel Negeri 5 Menara dari perpustakaan sekolah. Awalnya, saya hanya tertarik pada sampul birunya yang menenangkan dan judulnya yang unik. Namun beberapa halaman pertama sudah cukup untuk membuat saya merasa terhubung dengan tokoh utamanya — Alif.

Alif adalah remaja dari Sumatra Barat yang bercita-cita melanjutkan sekolah di Bandung seperti idolanya, B.J. Habibie. Namun, orang tuanya justru menginginkan ia masuk pesantren. Kekecewaan, rasa terjebak, hingga kebingungan sempat menyelimuti dirinya. Tapi di pondok Madani, bersama kelima sahabatnya, Alif belajar tentang hidup, persahabatan, dan terutama tentang kekuatan mimpi.

Satu kalimat dari buku ini begitu membekas dalam ingatan saya:

“Man jadda wajada” — siapa yang bersungguh-sungguh, pasti akan berhasil.

Kalimat sederhana ini memiliki kekuatan luar biasa. Dari situlah semangat saya mulai tumbuh kembali. Saya mulai memahami bahwa arah hidup tidak selalu harus jelas sejak awal. Yang terpenting adalah kesungguhan menjalani prosesnya.

Buku ini mengubah cara saya memandang pendidikan, usaha, dan mimpi.

Dulu saya mengira bahwa untuk sukses seseorang harus berasal dari kota besar, memiliki akses luas, atau lahir dari keluarga berada. Tapi Alif dan kawan-kawannya membuktikan sebaliknya: keterbatasan bukanlah penghalang. Dari sebuah pesantren sederhana di pelosok Jawa Timur, mereka menatap menara-menara dunia — dari Amerika, Eropa, hingga Timur Tengah.

Negeri 5 Menara menyadarkan saya bahwa kekuatan terbesar bukanlah fasilitas, tetapi tekad yang membara di dalam diri.

Setelah membaca buku ini, saya mulai lebih tekun belajar. Saya menulis daftar mimpi sendiri — hal-hal yang dulu terasa terlalu tinggi untuk digapai: kuliah di luar kota, menulis buku, belajar bahasa asing, hingga membantu pendidikan di daerah terpencil. Saya belajar bahwa mimpi bukan sekadar angan-angan, tetapi peta hidup yang bisa diwujudkan selangkah demi selangkah.

Lebih dari itu, buku ini mengajarkan bahwa setiap orang memiliki perjalanan uniknya sendiri. Saya tidak harus sama dengan teman-teman saya. Saya boleh punya jalan sendiri, selama dijalani dengan sepenuh hati. Seperti Alif yang semula menolak masuk pesantren, namun justru menemukan takdir dan maknanya di sana — saya pun belajar menerima setiap pengalaman sebagai bagian dari proses yang membentuk diri.

Kini, beberapa tahun setelah pertama kali membaca Negeri 5 Menara, buku itu masih menjadi sumber inspirasi bagi saya. Saya mungkin belum mencapai semua mimpi saya, tetapi saya tidak lagi takut untuk bermimpi. Saya tahu bahwa selama terus berjalan, belajar, dan berdoa, saya sedang menuju arah yang tepat.

Bagi saya, Negeri 5 Menara bukan sekadar novel. Ia adalah cermin — memantulkan kegelisahan saya, lalu memberi harapan. Ia hadir di saat yang paling saya butuhkan, ketika saya hampir berhenti percaya pada diri sendiri.

Buku ini mengajarkan bahwa pendidikan bukan soal tempat, tetapi tentang semangat; mimpi bukan soal jarak, tetapi tentang keyakinan; dan kesuksesan bukan hanya milik mereka yang paling pintar, tetapi mereka yang paling tekun dan pantang menyerah.

 

 

Editor: Tim Ngajiliterasi