Oleh: Susan Susanti
“Kalau kau mendapatkan kesempatan untuk membatalkan penyesalan-penyesalanmu, apakah kau akan melakukan apa pun secara berbeda?”
Manusia, dengan seluruh kisah hidupnya, tak pernah lepas dari penyesalan. Kesempatan yang terlewat, hubungan yang berakhir, keputusan karier atau pendidikan yang disesali, bahkan hal sederhana seperti melanggar diet dengan sepiring mi instan—semuanya bisa menjadi daftar panjang yang menekan dada hingga sesak. Jika diberi kesempatan untuk memperbaikinya, apakah kita benar-benar akan melakukan hal yang berbeda?
Jika harus menggambarkan The Midnight Library dalam dua kata, maka buku ini adalah “kaca refleksi.”
Setiap orang membutuhkan cermin untuk menatap dirinya sendiri. Dalam kisah ini, Nora Seed memerlukan cermin yang sangat besar. Melalui Perpustakaan Tengah Malam, ia mendapat kesempatan mengunjungi berbagai versi kehidupannya—semua kemungkinan yang bisa saja terjadi jika ia membuat keputusan berbeda.
Buku-buku yang berderet di perpustakaan itu menjadi portal menuju kehidupan alternatif. Di sana, Nora bisa memilih kehidupan mana yang ingin dijalani, dan jika ia benar-benar menemukannya, ia bisa hidup di sana sampai akhir hayatnya.
Sebagaimana kebanyakan buku terjemahan, di awal cerita kita mungkin dibuat bingung ke mana arah kisah ini akan dibawa. Namun setelah diselami lebih dalam, pesan yang tersimpan terasa begitu dalam dan menyentuh. Buku ini bukan hanya menemani, tapi juga menyembuhkan—memberi alasan untuk bertahan dan melanjutkan hidup.
Nora Seed adalah gambaran manusia dewasa yang telah melewati pasang surut kehidupan. Ia merasa semua orang berhasil menemukan cara untuk hidup, kecuali dirinya. Perenang, musisi, filsuf, pelancong—semua jalan telah ia coba, namun tak satu pun membawa kebahagiaan. Keyakinan bahwa dunia akan lebih baik tanpanya menjerumuskannya dalam lubang gelap keputusasaan.
Mungkin tidak se-ekstrem Nora, tapi dalam dirinya, kita bisa melihat diri kita sendiri. Tidak ada kenyamanan dalam proses pendewasaan. Setiap fase hidup selalu menghadirkan titik terendah yang menuntut kita untuk kembali naik ke permukaan. Langkahnya berat, jalannya terjal. Maka, ketika saya bertemu kisah Nora, ia seperti orang asing yang dengan ringan hati mengulurkan tangan, menarik saya dari dasar lembah. Kisahnya menjadi cermin refleksi yang menemani saya bangkit dan terus bertumbuh.
Tiket untuk Kembali dan Mencoba
Perpustakaan Tengah Malam menawarkan tiket perjalanan untuk kembali—dan mencoba lagi. Rasanya menyenangkan membayangkan kesempatan memperbaiki kesalahan masa lalu: memilih sekolah berbeda, belajar lebih giat, tidak melepas orang yang dicintai, atau menerima tawaran kerja yang dulu diabaikan.
Namun, benarkah hasilnya akan berbeda? Mungkin tidak. Bisa jadi perjalanan “kembali dan mencoba” hanya menghasilkan rasa sakit dalam bentuk lain. Nora Seed membuktikan bahwa kehidupan yang tampak berkilau dari jauh tidak selalu menghadirkan kebahagiaan sejati.
Pada akhirnya, kita perlu menyadari bahwa yang nyata adalah hari ini. Hujan lebat akan berhenti, kilat yang menakutkan akan mereda. Kita hanya perlu terus berjalan. Harapan bahwa hari-hari esok akan menutup dengan kalimat yang indah cukup untuk memantapkan langkah yang kadang limbung.
Menyambung hidup berarti memutuskan untuk hidup.
Jejak di belakang hanyalah cerita—untuk dikenang, bukan diulang. Jalan tidak selalu membawa kita sampai pada tujuan, tapi sepasang kaki yang kuatlah yang menuntun kita ke sana. Keyakinan itulah yang menemani saya menghadapi kemungkinan-kemungkinan ke depan.
“Kita tidak perlu menjadi segalanya untuk bisa berarti, karena kita sendiri sudah tak terbatas. Selagi masih hidup, kita selalu memiliki masa depan dengan beribu kemungkinan.”
Tidak mudah memang. Tapi sulit bukan berarti mustahil. Jauh bukan berarti tak tergapai. Dalam dingin dan sepinya perjalanan, kita selalu bisa menemukan kehangatan—seperti kisah Nora yang muram namun tetap memberi cahaya.
Selamat melanjutkan langkah. 🌙
Editor: Tim Ngajiliterasi