Oleh: Audrey Angelica
Kategori Juara Favorit
“Anomali | Memoar Seorang Bipolar” Karya Elnov.
Itulah buku yang kuanggap sebagai buku yang mengubah hidupku. Kenapa?
Karena aku memilih buku itu saat aku dalam masa depresi. Iya, depresi yang sudah dikonfirmasi seorang psikolog klinis di RS Siloam, Lippo Karawaci. Untuk dinyatakan depresi, ambang batasnya 1,7 sekian. Aku saat dites mendapatkan hasil 1,8. Masih rendah, tapi ada.
Terdapat satu tragedy yang membuat aku memutuskan mengundurkan diri dari lingkungan kerja yang toxic. Aku suka bekerja dan berkarya. Namun, tidak gemar untuk mengumbar skill maupun mendekati seseorang demi sebuah tujuan. Beruntungnya, aku mendapatkan posisi yang lebih baik setelah aku mengundurkan diri tersebut. Masih banyak mata yang memahami bakat dan potensiku.
Aku suka berkarya. Dan sebagai seniman, aku sangat suka jika karyaku bisa menghibur orang lain. Orang lain bisa menikmati karyaku atau mencemooh sehingga aku mengetahui letak salahnya dan memperbaiki di lain kesempatan. Agak sedih rasanya ketika mengetahui sebuah program acara tidak bisa dinikmati banyak orang hanya karena sedikit orang mencari keuntungan berlebih di dalamnya. Mengapa? Karena hasil jerih payah maupun pesan artistik dari pembuatnya akan terhenti di sana. Mungkin memang terpampang sebagai karya. Namun, karya yang cacat dan membosankan. Bahkan orang-orang di balik layar pun enggan untuk melihatnya sesudah kontrak usai.
Sebagai orang yang sudah menjalani hidup sebagai minoritas yang memiliki kurang rasa percaya diri, aku mengamati gestur maupun tatapan orang dengan seksama. Mungkin terdengar aneh, tapi hafal dengan sangat jelas suatu kejadian hingga ekspresi seseorang ketika berkata. Tidak semua, jelas. Namun, antara kejadian yang menurutku membahagiakan, atau membuatku terpuruk. Dua hal tersebut, senang dan sedih.
Aku paham aku bekerja dengan upah yang minim sehingga, bagi keluargaku, aku hanyalah produk gagal keluarga. Beban keluarga yang sangat jelas terlihat. Bahkan, apa yang kukerjakan di dunia profesional, keluargaku tak ada yang mengerti. Padahal di lingkungan profesional, namaku cukup harum dan terjaga.
Aku bekerja di lingkungan politik yang sangat kental dengan konflik. Segala konflik yang terjadi murni karena unsur politis, bukan personal. Semua keuntungan yang bisa didapat oleh seorang individu, menjadi sah, dengan segala cara, selama itu di ranah politik.
Namun, jiwa artistikku meronta kencang. Aku sangat menjunjung tinggi apresiasi terhadap karya apapun. Siapapun yang berkarya, dalam berbagai media, harus mendapat upah yang sepadan dengan hasilnya. Maka dari itu, walau aku sangat piawai bermain uang dalam lingkungan politik, tidak pernah sekali pun aku mengambil hak orang. Semua orang sudah ada jalur rejekinya. Tidak perlu kita serobot untuk terlihat menjadi lebih secara materi.
Dalam perjalanan aku membenahi diri dari rasa depresi yang mendalam, aku cukup lega. Lega untuk mengetahui bahwa aku bukan penyandang autism maupun ADHD. Hal yang terbukti pula dari tes psikologi. Suka bermain dan berani untuk menjadi diri sendiri di tengah arus yang sejalan dengan orang pada umumnya, membuat pintu diriku lebih rapat dari yang lain. Namun, satu hal yang pasti: aku selalu memilih untuk melakukan sesuatu yang terbilang salah di mata orang lain tapi aku puas setelah melakukannya.
Ada satu pesan yang kuingat hingga sekarang, yang datang dari guru SMP-ku: Jika tidak ada yang nekat, maka tidak akan ada yang berubah.
Aku tidak akan pernah meminta maaf secara tulus jika dalam hatiku aku yakin betul bahwa perbuatanku benar. Ada kalanya kata maaf itu sulit terucap karena ego yang tinggi. Ada kalanya kata maaf itu mudah terucap karena hanya ingin tali silaturahmi kembali tersambung.
Aku menyadari bahwa ketika aku depresi, bahwa aku sudah pecah. Layaknya gelas yang sudah pecah, tidak bisa utuh kembali. Balutan perban tidak mampu menyembuhkan pedih hati yang sudah tergores. Retakan itu sudah membekas selamanya.
Aku pun semakin relate dengan unggahan-unggahan di Instagram yang membicarakan tentang self-love. Aku tidak sendiri. Banyak hati yang terluka dan memilih untuk berani menjadi diri sendiri. Banyak yang bilang untuk tidak apa-apa jika berhenti sejenak. Tidak apa-apa untuk menangis semalaman jika memang itu hatimu butuh. Tidak apa-apa untuk tidak melakukan apapun seharian yang terbilang produktif untuk mendinginkan kepalamu.
Sudah banyak quotes yang mengisi hari-hariku. Hingga kurasa, aku pun juga ingin melakukan hal yang serupa. Menjadi diriku seutuhnya. Tidak apa-apa aku memiliki goresan dalam yang memretakkan jiwa. Kalau boleh mengutip dari buku lain “Mengapa ada sedih di bumi?” karya Baron Aritonang: Dunia terlalu bercanda untuk dihargai.
Memahami diri sendiri dan mencintai, butuh proses dan waktu yang panjang. Diriku tadinya mempertanyakan dan marah kepada Tuhan: Kau ingin aku bersyukur bagaimana untuk hidup? Hidupku berat dan kelam.” Hingga aku terlalu putus asa untuk mendatangi gereja.
Aku anak millennial. Sosial media sudah menjadi bagian besar dari hidup. Aku memulai hari dengannya. Menutup hari dengannya. Aku pun bertahan hidup karena konten Sara Wijayanto yang menceritakan penyesalan mereka yang telah berbeda dimensi. Bahwa banyak yang memiliki penyesalan ketika waktu sudah terlambat.
Aku semakin memahami bahwa segala yang terjadi, mungkin sudah saatnya. Bahkan aku melihat lomba menulis ini pun, sebuah pertanda bahwa aku pun bisa berdampak baik bagi orang lain, jika memang pembaca tulisan ini bisa banyak.
Aku menjadi yakin, masih banyak orang di luar sana yang peduli terhadap jiwa-jiwa yang rapuh. Banyak pula yang terlalu lemah untuk menghadapi realita dunia sehingga menyakiti yang lain. Tanpa tangismu, dunia masih berputar. Tanpa tawamu, dunia masih berputar.
Jika kau masih tegar dan berani untuk menjalani hidup, semangat! Banyak jiwa rapuh yang menanti karyamu. Kamu sudah melewati masa kelam Indonesia yang bernama pandemic covid. Kamu masih hidup dan bernafas lega hingga kini, karena kamu ditakdirkan seperti itu. Hidupmu sudah cukup jauh dan bermakna.
Mungkin bertemu lubang kegelapan dalam hidup itu pasti. Air masuk menggenangi lubang pun pasti. Sudah jatuh tertimpa tangga? Yasudah. Apa mau dikata kalau sudah terjadi? Dirimu hanya bisa bertahan. Itulah arti sebenarnya menjadi dewasa. Realistis pada waktunya!
link pembelian buku: https://s.shopee.co.id/1LVYtKOEHA