Skip to content

Hiruk-pikuk Menjamurnya Ksatria Usai Membaca

Oleh: Ni Wayan Vinka Regina Dewi

Beberapa hari sebelum aku menemukan benda “aneh” itu, aku dilanda gelombang keraguan. Aku sering merasa kerdil setiap kali harus mengeluarkan pendapat atau jawaban kepada orang-orang yang berinteraksi denganku—baik teman, kakak kelas, guru, siapa pun itu. Parahnya lagi, bahkan untuk hal sederhana seperti memutuskan mau makan apa, aku harus berpikir cukup dalam dan lama. Akibatnya, ketika rasa lapar datang, aku masih saja sibuk berpikir tanpa ujung. Sungguh siksaan yang bertubi-tubi: perut meronta, otak pun ikut hampa. Menyedihkan rasanya, ketika aku sadar betapa “siputnya” cara berpikirku.

Lebih ironis lagi, di sekolah, saat sela-sela pelajaran digunakan untuk ice breaking (agar suasana belajar kembali hidup), banyak permainan yang menantang siswa memecahkan masalah dan mengasah otak. Teman-temanku berlalu-lalang mencari jawaban, sementara aku masih bingung mesti berbuat apa.

Tentu siapa pun tak ingin terus-menerus dihantui kebodohan. Maka, aku bertekad belajar untuk menyelaraskan diri. Teknologi yang canggih adalah hal pertama yang membuatku berterima kasih pada zaman. Melalui itu, aku berjerih payah mencari cara menjadi orang jenius—seorang jenius yang bisa memecahkan berbagai kasus, menyusun puzzle tanpa depresi, dan menyeragamkan semua sisi rubik sebelum hitungan satu detik.

Kebetulan, saat itu aku kembali menonton tayangan masa kecilku: Detektif Conan. Aku sempat tercengang ketika tahu bahwa Conan—detektif super jenius dan cerdik itu—ternyata memiliki idola. Mana mungkin aku bisa menahan diri untuk tidak mencari tahu lebih lanjut? Segera kubuka mesin pencari dan mengetik: “Sherlock Holmes.”

Gulir demi gulir, aku menemukan gambar sebuah buku bersampul merah dengan judul yang mencuri perhatian. Beruntung, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI) memiliki aplikasi perpustakaan digital yang memudahkanku mengakses buku itu: 99 Cara Berpikir Ala Sherlock Holmes karya Monica Anggen. Buku nonfiksi yang terinspirasi dari karakter detektif legendaris ini langsung membuatku hanyut sejak bab awal, karena begitu relate dengan persoalan yang sedang kuhadapi.

Bagian favoritku adalah bab yang menekankan pentingnya detail—hal-hal kecil yang sering luput, tetapi berdampak besar. Seperti bagaimana Sherlock Holmes mampu menangkap detail yang tak disadari orang lain.

“Kadangkala perbuatan yang sepele dapat memiliki arti penting, atau sebaliknya, tingkah laku yang luar biasa ternyata hanya berhubungan dengan jepit atau rol rambut.”

Itu menjadi kutipan favoritku.

Namun, membaca secara pasif—hanya di dalam hati—bagi saya sama saja nihil. Terkadang aku bahkan lupa jika sedang membaca, sehingga bisa saja melewatkan bagian penting yang berpotensi mengubah hidupku. Agar tidak terjebak pada kebiasaan membaca tanpa makna, aku mulai membacanya dengan suara pelan dan mengulanginya menggunakan bahasaku sendiri.

Seiring membaca, tumbuh keinginan besar untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kebetulan, saat ada agenda wawancara seleksi kepengurusan ekstrakurikuler, bab ke-55 berjudul “Berpikir Itu Membuat Hubungan Antar-Titik” menjadi salah satu yang langsung kuterapkan. Ketika pembina ekstra mulai melempar pertanyaan, jreng!—mekanisme berpikir itu seperti langsung aktif di kepalaku. Berbagai keyword bermunculan dan tinggal kususun menjadi jawaban utuh.

Tak hanya itu, membaca secara verbal dan aktif menjelaskan ulang juga berdampak besar bagi diriku yang dulu sering gelagapan. Kini, aku mulai terbiasa berbicara dengan lebih runtut dan terstruktur. Karena buku ini pula, aku berani mengambil risiko: membongkar DVD untuk tugas Fisika, ikut Olimpiade Sains, hingga terpilih menjadi ketua salah satu divisi ekstrakurikuler kebanggaanku.

Kini aku percaya, setiap persoalan bisa dipecahkan asalkan kita berpikir dengan benar. Lambat laun, setelah menerapkan berbagai kiat dalam buku powerful itu, aku benar-benar merasakan perubahan signifikan dalam diriku.

Membaca buku adalah kebutuhan manusia untuk bertahan hidup. Di tengah kebisingan dunia yang melimpah-ruah, buku memberi ruang tenang, nyaman, dan penuh manfaat. 99 Cara Berpikir Ala Sherlock Holmes membukakan mataku tentang cara berpikir yang lebih luas, serta mengajarkanku melihat dunia dari berbagai sudut pandang yang sebelumnya tak terpikirkan. Sejak saat itu, aku mulai mencintai segala hal yang menuntut proses berpikir.

Editor: Tim Ngajiliterasi