Skip to content

Jangan Berbohong pada Diri Sendiri: Sebuah Pelajaran dari The Brothers Karamazov

Oleh: Fatih Rizieq

Ada kebohongan yang berbisik ke telinga kita setiap hari. Kebohongan bahwa kita sudah cukup bahagia dengan jalur yang kita pilih, dengan jalan yang kita tekuni sekarang ini. Bahwa validasi dari orang lain lebih penting daripada rasa syukur. Bahwa kita sudah cukup puas dan bangga dengan pencapaian—posisi dan prestasi—yang kita raih.

Selama ini, saya hidup dengan bisikan-bisikan halus itu. Saya membayangkan diri saya sebagai istana megah, tetapi pada kenyataannya, fondasinya rapuh. Lalu, ketika malam datang dan kebohongan yang saya yakini mulai menghantui, saya menemukan sebuah karya sastra tua—klasik, tapi penuh makna—novel Rusia setebal hampir seribu halaman yang menampar batin dan menghancurkan istana khayalan saya: The Brothers Karamazov.

Saya melirik karya Fyodor Dostoevsky, sejujurnya, bukan karena semangat literer, melainkan karena keangkuhan—keyakinan bahwa saya mampu menelan seluruh isinya. Lagi pula, karya ini selalu muncul di daftar buku bacaan para intelektual. Saya pun menyiapkan diri untuk alur yang rumit, nama-nama yang sulit dihafal, dan dialog yang panjang serta filosofis.

Di tengah kisah tentang tiga saudara yang bergulat dengan keraguan, pembunuhan, dan kebobrokan moral, saya menemukan satu adegan yang benar-benar menusuk. Bukan di ruang sidang yang dramatis, bukan pula dalam argumen Ivan Karamazov yang filosofis. Momen itu terjadi di sebuah sel sederhana, ketika Starets Zossima yang bijak menatap Fyodor Pavlovitch Karamazov—seorang ayah bejat, perwujudan manusia yang telah membusuk dalam kebohongannya sendiri.

Lalu, Starets Zossima mengucapkan kalimatnya. Bukan untuk Fyodor Pavlovitch, tapi untuk saya. Untuk kita semua, para pembaca.

Starets Zossima tersenyum sambil memperingatkan tentang akar kehancuran moral manusia: “Di atas segalanya, jangan berbohong pada diri sendiri.”

Kutipan pendek, tapi menancap dalam. Dostoevsky kemudian menulis, “Orang yang berdusta kepada dirinya sendiri dan percaya pada dustanya itu akan sampai pada titik di mana ia tak lagi mampu membedakan kebenaran di dalam dirinya maupun di sekelilingnya. Ia kehilangan rasa hormat—baik kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain. Dan ketika rasa hormat itu lenyap, ia pun berhenti mencintai.”

Suatu kehancuran berantai yang dimulai dari dusta menuju buta, dari buta menuju hilangnya hormat, dan akhirnya berhenti mencintai—semuanya berawal dari pikiran sendiri, dari kegagalan membaca perasaan sendiri.

Namun Dostoevsky tidak berhenti di situ. Ia seakan membedah batin pembacanya, termasuk saya. Ia menulis, “Orang yang berdusta kepada dirinya sendiri adalah orang yang paling mudah tersinggung… ia sengaja menciptakan penghinaan itu sendiri, melebih-lebihkannya agar tampak dramatis… lalu menikmati sakit hatinya… dan dari situ perlahan-lahan berubah menjadi kebencian sungguhan.”

Dostoevsky mengiris ego saya secara halus, tetapi menyakitkan. Lewat Starets Zossima, ia memaksa saya jujur—bukan kepada orang lain, melainkan kepada diri saya sendiri. Dalam dunia The Brothers Karamazov, kebohongan pada diri sendiri bukan sekadar dosa kecil, tetapi awal dari kehancuran moral manusia. Saat itu saya sadar, selama ini saya hidup dalam pola yang sama.

Betapa sering saya berbohong kepada diri sendiri: tentang perasaan, tentang kebahagiaan, tentang kenangan. Dusta-dusta kecil itu perlahan membuat saya lupa siapa diri saya sebenarnya—kebohongan tentang kebahagiaan palsu dan kebencian yang dibuat-buat. Kebohongan bahwa saya sudah tak lagi terpaut pada seseorang yang istimewa. Saya memperluas jarak, menghapus jejaknya di media sosial, meyakinkan diri bahwa saya sudah lepas darinya. Tapi setelah membaca novel ini, saya sadar: semua itu bohong.

Kebenarannya, saya masih terikat. Saya belum lupa akan memori bersamanya—mungkin tidak akan pernah. Sebuah kenyataan apa adanya, yang dulu takkan pernah saya akui.

Saya mulai berhenti berbohong, bahkan pada tingkat yang paling dasar: berhenti berbohong pada perasaan sendiri. Saya mulai mengakui bahwa saya memang masih menganggapnya indah. Pada awalnya terasa seperti penolakan, tapi lambat laun, saya justru merasa lega. Lega karena akhirnya saya bisa jujur pada diri sendiri, meski versi diri saya di masa lalu mungkin akan kecewa.

Novel ini mengungkap kebenaran pribadi, membuka mata untuk melihat diri sendiri. Saya menyadari betapa seringnya saya berpura-pura: bagi orang tua, saya sosok kebanggaan; bagi teman, panutan; bagi dunia luar, contoh kesuksesan. Tapi hanya saya yang tahu seberapa rapuhnya diri ini—ada sisi yang bersembunyi, tak ingin terlihat, tapi tetap ada.

Pada akhirnya, The Brothers Karamazov tidak mengubah hidup saya dengan menjawab pertanyaan besar tentang Tuhan, kebebasan, atau penderitaan. Ia mengubah hidup saya dengan satu pertanyaan kecil yang justru paling penting: “Apakah kamu benar-benar jujur pada dirimu sendiri, saat ini?”

Novel ini tidak mengajari kita cara terbang ke surga, melainkan cara berpijak dengan kokoh di bumi. Dan mungkin, itulah hadiah terbesar yang bisa diberikan sebuah buku: bukan pelarian, melainkan jalan untuk pulang.

Editor: Tim Ngajiliterasi