oleh Dea Assifa
Salah satu hal utama yang selalu menjadi perhatian manusia dalam hidup adalah kebahagiaan. Di era keterbukaan seperti sekarang, kebahagiaan sering kali dikaitkan dengan kepemilikan materi. Bagi mereka yang memiliki banyak tanggungan, urusan materi bahkan bisa menjadi beban pikiran tersendiri. Ada ungkapan yang sering kita dengar: “Uang memang tidak bisa membeli kebahagiaan, tetapi tidak punya uang bisa membuat kita jauh dari bahagia.” Itulah sebabnya, berbagai metode untuk “menggandakan” materi kini banyak bermunculan—mulai dari yang masuk akal hingga yang di luar nalar.
Menyemai Kebahagiaan dengan Cara Berbeda
Ada sebuah novel bergenre pengembangan diri yang mengubah cara pandang saya terhadap kebahagiaan. Buku ini berlandaskan pada nilai-nilai keislaman, sejalan dengan latar belakang penulisnya, Fakhri Fadzli, yang menempuh pendidikan di bidang syariah di Yordania. Di sana, ia berkesempatan menimba ilmu dari seorang ahli tafsir terkemuka, almarhum Syeikh Dr. Solah al-Khalidi. Tak heran, banyak tulisannya lahir dari refleksi mendalam terhadap makna ayat-ayat Al-Qur’an, termasuk tentang sifat qanaah.
Di saat dunia sibuk dengan gembar-gembor investasi dan cara memperbanyak harta demi merasa aman secara finansial, Fakhri justru menawarkan perspektif berbeda. Dalam bukunya yang lebih dari 200 halaman, ia mengajak pembaca merenungi bagaimana cara merasa aman dalam kepemilikan materi melalui ketenangan batin. Ia membahas tentang rasa cukup sebagai modal hidup agar manusia tetap tenang menghadapi keterbatasan, tanpa kehilangan semangat untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik serta mendekat pada kebahagiaan sejati.
“Sedikit, Tapi Cukup!” menjadi bacaan menarik karena dikemas dengan analogi-analogi yang dekat dengan keseharian. Fakhri kerap memulai dengan ungkapan umum yang akrab di telinga, lalu membawanya ke perenungan yang lebih dalam. Misalnya ketika ia bertanya, “Bagaimana kita bisa bersyukur jika hidup ini tak adil?” Pertanyaan itu lahir dari pengalamannya sendiri: saat semua yang ia bangun runtuh, harga dirinya terinjak, dan hidup terasa tak berpihak padanya. Namun, setitik iman membuatnya kembali bersandar hanya pada Tuhan. Dari sanalah ia menyadari bahwa tidak semua hal bisa ia kendalikan. Ia mungkin tak mampu mengubah arah angin, tapi ia bisa menentukan arah kemana kapalnya berlayar.
Selain itu, buku ini juga membahas tentang memaknai kehilangan, paradoks kebahagiaan, mengubah hidup dengan rasa cukup, hingga menemukan makna hidup melalui kecukupan. Semua dikemas dengan bahasa Melayu yang sederhana dan hangat, mengikuti latar tempat buku ini ditulis.
Paradoks Kebahagiaan
Salah satu pembahasan paling menarik dalam buku ini adalah tentang Paradox of Happiness atau paradoks kebahagiaan. Manusia sering kali mengejar kebahagiaan dengan menetapkan target tertentu, lalu hanya fokus pada pencapaian itu. Akibatnya, mereka melupakan hal-hal berharga yang sudah ada dalam hidup.
Penulis mencontohkan pengalamannya sendiri: demi membeli ponsel canggih, ia rela bekerja lembur. Namun, kesibukan itu membuatnya kehilangan waktu bersama keluarga dan sahabat. Ketika akhirnya ponsel itu didapat, rasa bahagia hanya bertahan sebentar. Setelah itu, muncul lagi target baru yang dikejar.
Hal ini menggambarkan betapa rapuhnya kebahagiaan yang hanya ditumpukan pada materi. Padahal, kebahagiaan sejati justru hadir dari pengalaman hidup, hubungan dengan keluarga, serta persahabatan yang tulus. Mengutip Dr. Tal Ben-Shahar, kebahagiaan sejati terletak pada keseimbangan lima aspek hidup yang dikenal dengan konsep SPIRE: spiritual, physical, intellectual, relationship, dan emotional. Jika salah satu timpang, manusia tak akan benar-benar menemukan kebahagiaan.
Mengenal Rasa Cukup dengan Qanaah
Dalam Islam, qanaah adalah sifat yang mengajarkan manusia untuk merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Ia menuntun kita untuk tidak terjebak dalam penyesalan atas nikmat yang hilang, atau iri terhadap rezeki orang lain. Dengan qanaah, hati menjadi lebih tenang dalam menjalani hidup.
Namun, qanaah bukan berarti pasrah tanpa usaha. Ia adalah sikap hati, sedangkan usaha tetap dilakukan oleh raga. Artinya, kita perlu bersyukur atas apa yang ada, sambil terus belajar dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik—bukan sekadar lebih kaya, tetapi lebih berakhlak dan berbudi.
Fakhri mengutip Buya Hamka dalam bukunya:
“Kekayaan yang hakiki adalah merasa cukup dengan apa yang ada. Namun tetap sudi menerima harta karena ia merupakan nikmat dari Tuhan. Andai harta itu kurang, tak perlu kecewa, karena ia datang dari-Nya dan akan kembali kepada-Nya. Harta tidak dicintai karena ia harta, melainkan karena ia pemberian Tuhan, yang kegunaannya untuk mendukung amal dan meneguhkan cinta pada-Nya.”
Penutup
Buku ini menunjukkan bahwa nilai-nilai Islam dapat memberi jawaban atas kegelisahan modern. Di tengah kehidupan yang serba cepat dan penuh persaingan, kita diajak untuk berhenti sejenak, menengok ke sekeliling, dan mensyukuri nikmat yang sudah ada.
“Sedikit, Tapi Cukup!” adalah bacaan yang tepat bagi siapa pun yang ingin belajar menikmati hidup, menemukan kembali makna kebahagiaan, dan menyemai rasa cukup dalam diri.
Editor: Tim Ngajiliterasi