Oleh: Anita
Sebelumnya, aku tak pernah menyangka bahwa sebuah buku bisa menamparku dengan keras dan membuatku tersadar betapa tidak pedulinya diriku terhadap sejarah bangsaku sendiri. Buku itu pertama kali kubaca bukan karena sedang mencari bacaan serius, melainkan hanya untuk memenuhi tugas dari dosenku—mereview sebuah produk. Saat itu, aku sedang kebingungan ingin mereview apa. Skincare? Terlalu teknis. Alat elektronik? Aku juga terlalu tabu dalam hal itu. Hingga akhirnya, aku memutuskan untuk mereview sebuah buku.
Dulu aku sangat suka membaca buku—cerpen, komik, apalagi novel. Namun sejak kuliah, aku mulai beralih fokus untuk belajar lebih keras demi mengejar ketertinggalan skill yang seharusnya dimiliki oleh setiap mahasiswa di prodiku. Maklum, salah jurusan. Setelah membuka dan menggulir layar cukup lama di aplikasi belanja online, pilihanku jatuh pada novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Tak lama kemudian, buku itu pun tiba di tanganku. Aku membacanya tanpa ekspektasi apa pun—semata-mata untuk menyelesaikan tugas.
Namun ternyata, Laut Bercerita datang kepadaku bukan sekadar sebagai karya fiksi, melainkan juga sebagai pintu menuju banyak kisah sejarah bangsa yang tak pernah kuketahui sebelumnya. Sejujurnya, aku bukan penggemar buku sejarah. Bukan karena malas, tapi karena bosan. Dari SD hingga SMA, sejarah selalu diceritakan dengan cara yang sama—berulang, kaku, dan membosankan. Isinya sering kali seputar perjuangan melawan penjajah. Aku tentu kagum pada para pejuang yang telah memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini. Tapi, bukankah kita sudah merdeka sekarang?
Dulu aku berpikir: Untuk apa mengenang sejarah yang penuh luka jika pada akhirnya tak ada yang bisa kita ubah? Apalagi ketidakadilan yang terjadi di masa kini bukan lagi dilakukan oleh bangsa asing, melainkan oleh sesama anak bangsa. Aku merasa bahwa ketidakadilan hanya bisa dilawan oleh mereka yang memiliki kekuasaan, bukan oleh orang biasa sepertiku—seorang mahasiswa yang suaranya terasa terlalu kecil untuk menggema. Pikiran itu tumbuh menjadi apatisme. Aku terbiasa menutup mata dan telinga terhadap ketidakadilan di sekitar. Selama tak mengusikku, artinya bukan urusanku, begitu pikirku waktu itu.
Namun semua pemikiran itu mulai goyah semenjak aku membaca Laut Bercerita. Novel ini perlahan membuka mataku pada sejarah kelam bangsa yang selama ini nyaris terlupakan. Aku ikut hanyut dalam kehidupan Biru Laut dan keluarganya, menelusuri lorong-lorong gelap masa lalu yang tak pernah diceritakan di buku sekolah. Kisah para aktivis mahasiswa yang berani bersuara melawan ketidakadilan, penindasan, dan kekuasaan otoriter di masa Orde Baru membuatku terpaku. Demi perjuangan itu, mereka diburu, diculik, disiksa, bahkan dihilangkan secara paksa.
Membaca bagian saat Biru Laut dan kawan-kawannya diburu hanya karena membaca buku membuat hatiku hancur. Ada rasa sedih, marah, dan hampa yang bergejolak bersamaan. Tapi di saat yang sama, muncul rasa syukur yang mendalam—karena kini, buku-buku yang dulu dianggap berbahaya sudah bebas dibaca oleh siapa pun, kapan pun. Aku menyesal pernah mengabaikan sejarah para pejuang masa lalu yang ternyata berdampak besar pada hidupku hari ini. Kebebasan yang kunikmati sekarang adalah hasil dari keberanian mereka menyuarakan kebenaran dan keadilan—sesuatu yang dulu tak pernah kusadari nilainya.
Sejak saat itu, aku mulai rajin membaca ulang sejarah bangsa ini. Bacaan sejarahku tak lagi terbatas pada buku pelajaran sekolah, tapi juga merambah ke kisah-kisah yang jarang dibahas. Aku menyadari bahwa sejarah adalah luka yang harus dikenang, suara yang harus didengarkan, dan pelajaran yang harus dijaga agar tidak terulang.
Buku ini bukan hanya membuka mataku, tapi juga hatiku. Ia mengajarkanku bahwa perubahan tidak selalu datang dari mereka yang berkuasa, melainkan bisa dimulai dari kita—dari kesadaran, rasa peduli, dan keberanian untuk mengingat.
Seperti kata Bung Karno,
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya.”
Dan aku ingin menjadi bagian dari bangsa besar itu, meski hanya dimulai dari satu hal sederhana: membaca buku.
Editor: Tim Ngajiliterasi