Gresik — Aula Pondok Pesantren Modern Sunanul Muhtadin pada Minggu (31/8/2025) mendadak menjadi lautan semangat. Ratusan santri putra dan putri duduk berderet rapi, mata mereka berbinar menatap panggung.
Bukan hanya bazar buku lima hari penuh yang mewarnai acara ini, tetapi juga percakapan serius tentang masa depan: tentang membaca, menulis, dan melahirkan karya.
“Santri mesti sadar, bila dari pesantrenlah literasi berawal. Islam mengajarkan, membaca adalah perintah pertama dan utama,” ujar Ustadz Danial Syaif, Direktur Pesantren Sunanul Muhtadin. Dengan suara bergetar penuh keyakinan, ia menegaskan pentingnya gerakan literasi di lingkungan pesantren.
Meski masih muda, semangat Ustadz Danial mampu menyalakan bara di dada para santri. Ia berharap kegiatan ini memberi dampak nyata. “Agar lahir generasi penulis dari rahim pesantren,” tegasnya.
Pesantren, Kitab, dan Kitab Kehidupan
Hari itu, pesantren tak hanya menjadi ruang mengaji kitab klasik, melainkan juga kitab kehidupan. Aditya Akbar Hakim, penulis buku Rahasia Meraih Nikmat Dunia Akhirat, hadir memberikan pengalaman sekaligus kesaksian.
“Setiap kali diundang ke pondok, saya menyaksikan sendiri: minat baca santri luar biasa. Masalahnya bukan rendah minat, melainkan kurangnya bahan bacaan. Ngaji literasi adalah solusi, mendekatkan buku kepada mereka yang haus pengetahuan,” ungkap Aditya.
Di balik hiruk-pikuk bazar buku, Sunanul Muhtadin sesungguhnya sedang mengukuhkan jati dirinya. Pesantren yang menaungi SMP, SMK, dan MA ini menjadikan jurnalistik sebagai ekstrakurikuler wajib di setiap jenjang pendidikan.
Menulis bukan sekadar pilihan, melainkan disiplin yang harus ditempa. Dari tangan para santri diharapkan lahir kisah, berita, hingga gagasan yang mampu menyalakan api peradaban.
Aditya menambahkan kunci keberhasilan literasi di pesantren adalah keteladanan. “Kalau santri membaca satu buku, gurunya mesti dua. Kalau santri dua, maka guru wajib tiga. Begitu seterusnya.”
Literasi sebagai Jalan Panjang
Kerja sama dengan Gramedia membuat acara ini semakin bermakna. Pesantren dan penerbit besar bergandengan tangan. Dua kutub berbeda yang dipertemukan oleh cita-cita sama: melahirkan generasi muda dengan nalar kritis, bacaan melimpah, dan jiwa merdeka.
Hari itu, di tengah aula yang penuh dengan semangat muda, literasi tidak lagi sekadar jargon. Ia menjelma menjadi doa, janji, sekaligus jalan panjang menuju masa depan bangsa.