Oleh: Aiman Nu’maan
Semua berawal dari scroll tanpa tujuan di FYP TikTok. Sebuah video muncul, menampilkan rekomendasi buku-buku yang dijamin akan membuat pembacanya menangis. Di antara banyak judul, satu buku menarik perhatianku: Seribu Wajah Ayah. Entah mengapa, judul itu menancap kuat. Mungkin karena hanya buku itu yang berfokus pada sosok ayah. Mungkin juga karena semesta tahu, saat itu adalah waktu yang paling tepat. Ayahku sedang terbaring sakit, berjuang melawan penyakit, sementara aku tengah bergulat dengan perasaanku sendiri.
Aku membeli buku itu dengan ekspektasi sederhana. Kupikir, paling-paling ini hanya kisah klise tentang pahlawan keluarga, seperti yang sering kita lihat di film. Tapi ekspektasi itu langsung runtuh, bahkan sebelum aku selesai membaca bab kedua. Air mata mulai jatuh—bukan karena ceritanya menyedihkan, tapi karena aku merasa sedang membaca kisah hidupku sendiri.
Buku karya Azhar Nurun Ala ini ditulis dengan gaya yang unik: sudut pandang orang kedua, “Kamu”. Sejak halaman pertama, aku tak lagi menjadi pembaca. Aku menjadi tokohnya. Seorang anak yang kehilangan ibu saat lahir dan dibesarkan sendiri oleh ayahnya. Seketika, aku ditarik ke masa kecilku—masa ketika aku pun tumbuh tanpa banyak kasih sayang seorang ibu, diasuh oleh sosok ayah yang tak pernah mengeluh, meski hidup tak mudah. Halaman demi halaman terasa seperti cermin yang memantulkan kembali perjuangan ayahku, yang selama ini mungkin kupandang sebelah mata.
Perubahan pertama yang kualami adalah pergeseran sudut pandang. Buku ini memaksaku berhenti melihat ayah hanya sebagai “peran”—pencari nafkah, sosok tegas, seringkali dingin—dan mulai melihatnya sebagai manusia. Manusia yang pernah muda, punya mimpi, merasa lelah, takut, dan menyimpan semuanya dalam diam.
Aku mulai sadar, di balik sikapnya yang keras, mungkin ada air mata yang mengalir diam-diam di sepertiga malam. Doa-doa lirih yang ia panjatkan agar anaknya—aku—jadi orang baik, selamat dunia akhirat. Buku ini seakan membisikkan seribu wajah yang dimiliki seorang ayah—beberapa tampak, sebagian besar tersembunyi.
Salah satu bagian yang paling menghantam perasaanku adalah saat sang ayah menasihati “Kamu” soal cinta. Dengan bijak ia berkata, “Jatuh cinta itu fitrah,” tapi ia juga menegaskan bahwa mencintai dan bertanggung jawab adalah dua hal berbeda. Kalimat itu terasa sangat nyata. Aku langsung teringat bagaimana ayahku, dengan caranya yang tak banyak kata, selalu berusaha membimbingku agar tetap berjalan di jalan yang benar.
Gelombang kedua datang sebagai banjir emosi yang melahirkan penyesalan konstruktif. Setiap halaman memunculkan rasa sesak—kesadaran akan begitu banyak pengorbanan kecil yang tak pernah kucatat. Aku mulai bersyukur, bukan hanya lewat ucapan, tapi lewat rasa haru yang dalam atas keberadaannya.
Puncaknya tiba di akhir cerita. Dalam novel, sang ayah meninggal dunia. Meninggalkan “Kamu” dengan penyesalan tak berujung: atas waktu yang terlewat, perhatian yang tak sempat diberikan, dan cinta yang tak pernah terucap. Hatiku mencelos. Tapi di balik kesedihan itu, terselip kesadaran besar: hidupku belum sampai pada titik itu.
Novel ini memberi akhir yang menyedihkan, tapi bagiku itu adalah peringatan. Alarm keras yang menggema dalam hati. Penyesalan itu bukan untuk membuatku hancur, tapi untuk membangkitkanku. Ia menjadi bahan bakar untuk berubah—untuk mulai melakukan sesuatu, selagi waktu masih kupunya.
Perubahan ketiga pun hadir: dorongan untuk bertindak. Buku ini tak hanya mengubah cara pikir dan rasa, tapi juga cara berperilaku. Aku mulai menyadari bahwa ayahku dulunya juga seorang lelaki muda. Tak heran jika kadang ego kami saling bertabrakan. Kesadaran ini menumbuhkan empati yang baru dan niat tulus dalam hati.
Aku belum melakukannya, tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri. Suatu hari nanti, aku ingin duduk di sampingnya. Bukan untuk menceritakan pencapaian atau mengeluhkan masalah, tapi hanya untuk bertanya satu hal sederhana:
“Ayah, dulu waktu muda, apa cita-cita Ayah yang belum tercapai?”
Aku ingin mendengarkan ceritanya. Bukan sebagai anak yang menuntut, tapi sebagai teman yang ingin memahami perjalanan hidupnya.
Seribu Wajah Ayah bukan sekadar buku. Ia telah menjadi titik balik dalam hidupku. Ia mengajarkan bahwa pahlawan sejati sering tak bersuara nyaring, cintanya tersembunyi dalam kerja keras, dan doanya dipanjatkan dalam diam. Ia memberiku satu hal yang sangat berharga: kesempatan untuk menulis akhir cerita hidupku yang berbeda—yang lebih penuh cinta dan pengertian. Dan aku akan memulainya hari ini.
link pembelian buku: https://s.shopee.co.id/5L1T9uny64
Editor: Tim Ngajiliterasi