Oleh: Syafa Nurulita Rahma
Saya memiliki hal-hal tertentu yang tak bisa disembuhkan, bahkan setelah waktu berlalu. Ada hari-hari di mana saya tak bisa mencintai diri sendiri sepenuhnya. Saya merasa seolah semuanya tak akan pernah membaik.
Sejak kecil, perlakuan dari orang tua dan orang-orang di sekitar membentuk keyakinan bahwa mereka menganggap saudara perempuan saya lebih baik. Ia begitu luar biasa—terang, berprestasi, dan seolah tak terkalahkan. Hal itu berdampak langsung pada keharmonisan hidup saya. Ada jarak yang makin melebar antara adik dan kakak, disertai pertanyaan yang terus menggantung: Apakah saya harus menjadi seperti kakak agar berguna dan dicintai?
Saya tumbuh di bawah bayangan berbagai prestasi dan kebaikannya. Keresahan dan krisis eksistensi itu saya pikul hingga dewasa. Setiap kali perasaan inferiority complex dari masa lalu muncul, saya merasakan kehilangan makna hidup. Saya hidup, tetapi tidak sungguh-sungguh merasa hidup. Hari-hari terasa hampa, tanpa ambisi, tanpa gairah. Saya mulai menarik diri, membiarkan kehampaan mengetuk hati, hingga merasa tersesat, tidak berharga, dan kehilangan jati diri. Akhirnya, pikiran untuk mengakhiri hidup pun pernah muncul—bukan sekali dua kali, melainkan berkali-kali.
Namun, di tengah keputusasaan itu, saya menemukan satu buku yang membuka mata saya tentang makna sejati kehidupan: Meraih Hidup Bermakna karya Hanna Djumhana Bastaman.
Buku ini memberi jawaban atas banyak pertanyaan tentang keberadaan saya di dunia—pertanyaan yang lama tertimbun oleh pengalaman masa kecil dan luka batin yang menahun. Ia seperti cermin yang memaksa saya menatap diri sendiri, berkontemplasi, dan perlahan mulai melangkah.
Dari bab-bab awal, saya disadarkan tentang hakikat eksistensi manusia. Seperti yang dikemukakan Prof. Drijarkara dalam Filsafat Manusia, “Manusia merupakan makhluk yang berhadapan dengan diri sendiri dalam dunianya. Ia menilai, mengolah diri sendiri, mengangkat maupun merendahkan dirinya, sadar serta terlibat secara langsung, baik secara rasional maupun emosional, dengan dirinya sendiri.”
Selain itu, manusia perlu melibatkan diri dalam kehidupan sosial tanpa merusak kepribadian atau moralnya. Buku ini juga menyinggung konsep Transendensi Diri—kemampuan seseorang untuk menyadari dan menilai pengalaman masa lalu serta masa kini, lalu memproyeksikannya ke masa depan.
Mengutip pandangan Viktor Frankl, seseorang yang mampu membebaskan diri dari sifat mementingkan diri sendiri dan berkomitmen pada hal-hal bermakna di luar dirinya akan mencapai taraf kematangan pribadi yang lebih tinggi.
Buku Meraih Hidup Bermakna juga memperkenalkan saya pada konsep “Kubus Kesadaran Makna Hidup” oleh Udai Pareek. Kubus ini menggambarkan enam tipe kepribadian, yang terbagi menjadi dua kelompok: meaningful dan meaningless.
Tiga tipe kepribadian meaningful adalah:
- The Popular Preacher (Si Dai Kondang) – pribadi dengan nilai dan tujuan hidup yang jelas, menghayati makna hidup, dan bersedia membagikan pandangannya.
- The Happiness Carrier (Si Pembawa Bahagia) – pribadi yang spontan, tulus, dan membawa kebahagiaan di mana pun ia berada.
- The Enlightened Hermit (Si Pertapa Tercerahkan) – pribadi yang sadar penuh akan nilai dan tujuan hidupnya, dan menghayatinya dengan kebahagiaan.
Sementara tiga tipe meaningless adalah:
- The Complaining Chatterbox (Si Pengeluh Cerewet) – pribadi yang diliputi kecemasan dan kehampaan karena gagal menemukan makna hidup.
- The Masked Emptiness (Si Hampa Bertopeng) – pribadi yang tampak berlebihan di mata orang lain, tetapi sesungguhnya hampa di dalam.
- The Void Avoider (Si Penyendiri Tanpa Makna) – pribadi yang murung, cemas, dan merasa hidupnya sia-sia.
Buku ini juga menegaskan bahwa hal-hal sederhana seperti humor dapat menjadi jembatan menuju kehidupan yang bermakna. Humor berkaitan erat dengan kepribadian yang matang—kemampuan menerima diri, berpikir realistis, memahami diri, dan bahkan mampu menertawakan diri sendiri.
Dalam bab Encounter, buku ini menekankan bahwa setiap orang berharga dan berguna, setidaknya bagi dirinya sendiri. Encounter adalah karakteristik hubungan antar manusia yang menumbuhkan makna hidup, ditandai dengan keakraban, keterbukaan, saling menghargai, memahami, dan menerima satu sama lain. Dalam hubungan semacam itu, seseorang menemukan dirinya berharga (being somebody)—baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Membaca buku ini membuat saya meninjau ulang kehidupan yang dulu saya anggap menyedihkan dan tidak berarti. Saya belajar menerima bahwa tidak apa-apa jika orang lain tidak menghargai kerja keras saya. Masih banyak hal yang membuat saya berdaya—untuk dunia, dan terlebih lagi untuk diri sendiri.
Kini, saya mulai berani melangkah. Saya mencoba membuka diri, mengikuti kegiatan sosial, melatih empati terhadap teman dan orang lain yang membutuhkan ruang untuk berkeluh kesah. Saya belajar memahami bahwa setiap anak memiliki mimpi dan jalannya masing-masing. Hari demi hari, langkah kecil itu membawa saya berdamai dengan masa lalu.
Sekarang, masa-masa menyedihkan itu hanya meninggalkan jejak samar. Saya merasa bebas, bahkan ketika tersesat sekalipun—karena kini saya tahu ke mana jalan pulang. Setiap momen dalam hidup terasa seperti hadiah yang menakjubkan.
Hidup saya memang tidak sempurna, tetapi saya terus berjalan menuju sesuatu yang bermakna.
Editor: Tim Ngajiliterasi