Oleh: Husnul Fauziyah
Aku tidak sedang mencari jawaban besar tentang bangsa ini. Aku hanya ingin memahami—mengapa rasa percaya pada negeri ini perlahan memudar dalam diriku. Hingga akhirnya aku membuka Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila karya Yudi Latif. Dan yang kutemukan bukan sekadar teori kebangsaan, melainkan sebuah cermin—tentang siapa aku sebagai warga, dan siapa seharusnya aku sebagai penjaga cita-cita republik ini. Buku itu tidak langsung memberi jawaban, tetapi justru menggugah pertanyaan-pertanyaan yang selama ini kubungkam dalam diam.
Sebelum membaca buku ini, bagiku Pancasila hanyalah lima sila yang dihafalkan sejak SD. Tak lebih dari slogan yang diucapkan saat upacara bendera. Namun, Yudi Latif membuka mataku: bahwa ada historisitas—sejarah panjang dan dalam—di balik kelahiran Pancasila, yang selama ini kupikir hanyalah “produk jadi”.
Melalui penelusuran sejarah yang cermat, penulis menunjukkan bahwa Pancasila bukan hasil instan dari para founding fathers, melainkan kristalisasi nilai-nilai luhur yang telah hidup dalam peradaban Nusantara selama berabad-abad. Nilai gotong royong, toleransi, dan keadilan sosial ternyata bukan ide baru—mereka telah mengakar dalam kehidupan lokal jauh sebelum Indonesia merdeka.
Membaca bagian ini membuatku merasa bersalah. Selama ini aku mencemooh Pancasila sebagai warisan usang yang tak relevan di zaman digital. Ternyata, akulah yang tidak pernah sungguh-sungguh menggali akar dan maknanya. Akulah yang belum memahami rasionalitas di balik setiap silanya.
Bagian yang paling mengubah cara pandangku adalah ketika penulis membahas rasionalitas Pancasila. Ia tidak hanya menjelaskan apa itu Pancasila, tapi mengapa Pancasila menjadi pilihan rasional bagi Indonesia yang begitu majemuk.
Buku ini berhasil mengurai bahwa “Bhinneka Tunggal Ika” bukan sekadar slogan toleransi, melainkan landasan epistemologis dalam mengelola keberagaman. Indonesia, dengan 17.000 pulau, 300 etnis, dan 700 bahasa, memerlukan ideologi yang tidak hanya inklusif, tapi juga menyatukan. Pancasila adalah pilihan rasional—bukan kompromi, tapi solusi.
Aku teringat pada pengalamanku bekerja dalam tim yang terdiri dari berbagai latar belakang agama dan budaya. Gesekan terjadi, perbedaan pendapat sering kali menegang. Namun kini aku sadar, dinamika itu sebenarnya adalah praktik Pancasila dalam skala kecil. Sila ketiga, “Persatuan Indonesia”, bukan hanya soal simbol negara, tapi tentang bagaimana menyatukan perbedaan menjadi kekuatan.
Yang paling menyentuh adalah bagian aktualitas—relevansi Pancasila di era kekinian. Yudi Latif tidak menutup mata terhadap kenyataan pahit: korupsi yang merajalela, intoleransi yang menguat, ketimpangan yang membesar. Namun justru dari situ, ia mengajak kita melihat bahwa semua problem itu membuktikan betapa pentingnya kembali pada nilai-nilai Pancasila.
Ketika membaca tentang sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, aku terdiam. Berapa kali aku mengeluh soal ketimpangan, tapi tak pernah bertanya apa peranku dalam mewujudkan keadilan sosial. Berapa kali aku marah pada korupsi, tapi tidak pernah menilai kejujuranku sendiri dalam hal-hal kecil.
Yudi Latif mengingatkan bahwa aktualitas Pancasila adalah tanggung jawab setiap warga negara. Ketika aku memilih untuk tidak menyuap polisi tilang, itu bukan hal remeh—itu adalah wujud sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Ketika aku menghormati tetanggaku yang berbeda keyakinan, itu adalah praktik sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Buku ini mengubahku: dari skeptis menjadi percaya, dari pengkritik menjadi penjaga. Aku mulai melihat bahwa Pancasila bukan dogma yang kaku, tetapi panduan hidup yang fleksibel, kontekstual, dan membumi. Historisitasnya memberiku akar, rasionalitasnya memberiku alasan, aktualitasnya memberiku tugas.
Kini, setiap kali ada perdebatan politik yang memanas di media sosial, aku tak lagi mudah terbakar emosi. Aku mengingat kembali nilai-nilai Pancasila: bagaimana berdebat secara beradab, bagaimana menjaga persatuan di tengah perbedaan, bagaimana mengedepankan kepentingan bersama di atas kepentingan golongan.
Saat membaca berita korupsi, aku tak hanya marah, tapi mulai introspeksi: sudahkah aku hidup jujur? Ketika melihat kemiskinan di sekelilingku, aku tak sekadar prihatin, tapi mulai bertanya: apa yang bisa aku lakukan?
Buku ini mengajarkanku bahwa “Negara Paripurna”—negara ideal yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa—bukan utopia yang mustahil. Ia adalah proses yang dimulai dari upaya setiap individu untuk menjadi lebih baik. Tak ada negara yang paripurna, jika warganya sendiri enggan berbenah.
Selama ini, aku terlalu sibuk menuntut negara menjadi sempurna, tapi tak pernah sungguh-sungguh menyempurnakan diri. Aku menuntut pemimpin yang jujur, tapi belum tentu jujur pada hal-hal kecil. Aku menuntut toleransi, tapi terkadang tak siap menerima perbedaan pendapat di lingkungan terdekat.
Negara Paripurna tidak hanya mengubah cara pandangku tentang Pancasila, tapi juga tentang siapa aku sebagai warga negara Indonesia. Yudi Latif berhasil membuat sejarah yang kusut menjadi jernih, ideologi yang abstrak menjadi konkret, dan cita-cita yang terasa jauh menjadi begitu dekat.
Kini, aku memahami bahwa menjadi warga negara Indonesia bukan sekadar soal memiliki KTP atau paspor berwarna hijau. Lebih dari itu, menjadi warga negara adalah komitmen untuk menjaga cita-cita. Pancasila memberiku identitas (historisitas), alasan (rasionalitas), dan tanggung jawab (aktualitas).
Buku ini menyadarkanku bahwa Indonesia bukan hanya tempat aku lahir, tapi amanah yang harus kujaga. Dan Pancasila bukan sekadar ideologi negara, tapi jalan hidupku sebagai manusia Indonesia yang sedang belajar menjadi paripurna.
link pembelian buku: https://s.shopee.co.id/4L8vyTmHZo
Editor: Tim Ngajiliterasi